Jumat, 15 Juni 2012

Guru Ama Diabadikan Nama Aula GPG

Aula Gedung Perjuangan Guru (GPG) Gorontalo yang dapat menampung sekitar 700 orang, telah disepakati diberi nama Aula Guru Ama, yakni sapaan populer mantan Bupati Kab. Gorontalo periode 2000-2005 H. Ahmad Hoesa Pakaya, SE, MBA. Menurut Nelson Pomalingo, pengabadian nama Guru Ama, merupakan bentuk ungkapan terima kasih, karena tokoh inilah yang pertama kali mengapresiasi gagasan pembangunan Gedung Guru dengan menghibahkan tanah seluas 1000 M persegi. Selain itu, sosok Ahmad Pakaya representasi dari guru yang sukses menjadi pengusaha dan politisi yang cukup disegani, tidak hanya di tingkat lokal tapi juga nasional. Selain mantan Bupati, Guru Ama juga pernah menjadi Anggota MPR RI, Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara, Ketua DPD I Golkar Provinsi Gorontalo dan dikenal sebagai pengusaha pribumi yang sukses membangun usahanya dengan modal kerja keras. Nelson mengharapkan, perjuangan, semangat dan kerja keras yang terpatri dari seorang Guru Ama, kelak akan menjadi teladan, spirit serta menjadi sumber inspirasi dan referensi bagi guru di Gorontalo untuk menjadi yang terbaik dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Guru Ama muda, pada awal tahun 1960 –an pernah menjalani profesi Guru SD setelah lulus dari Sekolah Guru Bantu (SGB) pada tahun 1959. Ia merupakan lulusan angkatan pertama SGB yang pada era orde baru berganti nama menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Gorontalo. Bekas gedung sekolah yang telah banyak melahirkan Guru di Gorontalo itu, kini menjadi kampus 2 UNG di jalan Raden Saleh Kota Gorontalo. Sahabat karib Ahmad Pakaya semasa SGB, alm. Mohamad Mahadjani ketika masih hidup tahun 2007 kepada Gema PGRI pernah mengisahkan, setelah lulus dari SGB, Ahmad Pakaya sempat menjadi guru SR di Biluhu Batudaa Pantai, yakni sebuah desa terpencil di bagian selatan Gorontalo. Tidak berapa lama kemudian, Guru Ama pindah tugas menjadi Guru SD di Bongomeme Kab. Gorontalo. Saat bertugas di Bongomeme itulah, Guru Ama konon memilih berhenti dan beralih profesi menjadi pedagang di pasar-pasar tradisional. (AM)

UN 2012, Gorontalo “Satu Kelas” dengan NTT dan Papua

Menjadi Cambuk atau Mencari Kambing Hitam? Persentase ketidak lulusan Ujian Nasional SMA Provinsi Gorontalo yang berada di urutan 5 besar tertinggal di Indonesia merupakan pil pahit yang harus diterima dengan jiwa besar yang disertai dengan intropeksi yang sungguh-sungguh. Posisi Gorontalo yang masih termasuk daerah tertinggal, sejajar atau masih sekelas dengan Papua dan NTT dalam perolehan Nilai Ujian Nasional, disisi lain merupakan tamparan keras bagi pemerintah Daerah dan dunia pendidikan yang pada tahun-tahun mendatang semestinya menjadi cambuk bagi pemerintah Daerah terutama Kepala Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah dan Guru untuk berbenah. Jika mengamati secara cermat, sebenarnya keseluruhan program-program dan kebijakan pemerintah daerah selama ini sudah cukup bagus dan prospektif. Justru yang menjadi resistensi kemajuan pendidikan di daerah ini lebih banyak dipicu oleh sikap dan perilaku yang dipertontonkan oleh para pengambil kebijakan di Dinas Pendidikan. Kepala Dinas Pendidikan misalnya, selama ini enggan memaparkan kelemahan, kekurangan dan kendala yang dihadapi dunia pendidikan. Yang ada justru lebih mengedepankan “pencitraan” dengan menutupi kelemahan dan bahkan kebobrokan yang ada. Besaran Anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah daerah pun terkadang ditutup-tutupi, alias tidak pernah dipublikasikan ke masyarakat, apalagi jika itu kurang dari 20 persen sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Demikian pula, selama ini, tidak ada seorang Kepala Dinas pun yang berani mempertanyakan kepada Bupati atau Gubernur maupun DPRD perihal anggaran yang kurang dari 20 persen dari APBD seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Hal ini menggejala karena banyak pejabat di pendidikan kita yang menjunjung tinggi prinsip Asal Bapak Senang (ABS), Asal Rakyat Senang, yang disertai tendensi – tendensi tertentu yang tidak disadari justru beresiko bagi masa depan pendidikan. Kepala Dinas dan Kepala Sekolah sangat terasa nuansanya takut “dicopot” kehilangan jabatan. Yang paling menyedihkan lagi, banyak diantara para pejabat kita yang bersikap ibarat “Buruk Muka Cermin Dibelah” yang selalu berupaya mencari “kambing hitam” untuk menyalahkan pihak lain atau melemparkan kesalahan pada faktor-faktor tertentu ketika dituding gagal, seakan-akan kegagalan yang diperoleh bukan merupakan kesalahan dan tanggung jawabnya. Perilaku yang terus – menerus mencuat dari tahun ke tahun ini pada akhirnya menjadi bumerang, karena para Kepala Dinas dan Kepala Sekolah bahkan guru tidak lagi berpikir keras untuk berkreasi dan beriovasi, tidak lagi memiliki semangat untuk menggagas ide dan terobosan-terobosan penting. Resistensi lainnya yang juga menggejala adalah “Proyeknisasi” program-program dan kebijakan-kebijakan di bidang pendidikan. Pada tataran implementasi program dan kebijakan biasanya , nuansa “proyek” lebih terasa ketimbang substansi program. jika menyangkut urusan proyek, terutama aparat di Dinas Pendidikan lebih bersemangat, memiliki daya respon yang sangat tinggi untuk memberikan layanan maksimal. Tapi jika, ada guru yang menghadap hanya untuk minta tanda tangan kenaikan pangkat, bermohon beasiswa untuk melanjutkan studi atau bahkan mengajukan usulan program peningkatan kompetensi siswa , jangan berharap cepat-cepat direspon dan dilayani, yang bakal dilayani terlebih dahulu adalah kontraktor dan pengusaha. Lain lagi, Pernah suatu hari, GEMA PGRI bertandang ke salah satu sekolah di Kabupaten Gorontalo. Ketika menanyakan keberadaan Kepala Sekolah, salah seorang guru menjawab Kepala Kpsek sedang keluar. Ketika ditanyakan lagi keluar dalam rangka apa karena masih jam sekolah, sang guru tersebut tidak bisa mengelak dan menjawab, Kepala Sekolah pergi ke Toko beli Semen. Kebetulan sekolah itu mendapatkan alokasi pembangunan 2 unit RKB yang diswakelolakan. Itu contoh kecil saja. Jika menelaah lebih jauh, hasil UN yang dari tahun ke tahun tidak beranjak dari rangking 10 besar terendah di Indonesia merupakan sebuah isyarat betapa kita tidak pernah “bercermin”. Terkadang banyak diantara pejabat pendidikan kita, ketika menanggapi kegagalan menjadi nampak begitu cakap dan cerdas berorasi hanya untuk melemparkan kesalahan pada orang lain, menyalahkan sistem dan mempersalahkan faktor lain yang menjadi pemicu kegagalan dihadapan masyarakat, dihadapan wartawan dan dihadapan aktifis LSM. Itu artinya, pejabat di pendidikan kita masih banyak yang belum memiliki jiwa besar, lebih takut kehilangan muka dan tidak mau pula kehilangan jabatan gara-gara hasil UN. (AM)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes