Minggu, 18 Maret 2012

Andai Ku Jadi Calon Walikota

Episode : Tebar Uang dan Janji, No ! Tebar Gagasan, Yess !




Ali Mobiliu.

Bagian Pertama :

Menjelang Pemilihan Walikota Gorontalo 2013 mendatang, telah banyak bermunculan calon-calon yang mengklaim dirinya mampu membawa perubahan dan kemajuan di Kota Gorontalo. Baik calon dari politisi maupun incumbent, sejauh ini sudah ada yang mulai start dengan menawarkan berbagai program dan konsep-konsep membangun untuk sebuah kemajuan dan masa depan Kota Gorontalo. Bahkan ada yang sudah mulai tebar pesona, tebar janji sambil menyambangi rumah-rumah penduduk yang dikemas dalam nuansa“silaturahim” sembari memberi bantuan sembako dan uang dari puluhan hingga ratusan ribu rupiah.

Andai aku benar-benar maju sebagai calon Walikota, aku tidak akan pernah tebar pesona, karena memang sejak lahir, dengan gaya apapun tidak akan pernah mempesona. Juga tidak akan tebar janji, karena takut kelak tidak bisa ditunaikan.

Tebar uang dan bagi-bagi sembako juga tidak akan, karena selain tidak ada, juga takut rakyat akan curiga, jangan-jangan, setelah terpilih nanti, hanya akan memikirkan bagaimana mengembalikan uang yang telah dikeluarkaan saat sosialisasi dan kampanye.

Lagi pula, aku sangat yakin, rakyat kota tidak butuh pemberian uang recehan, tidak butuh sembako yang hanya habis satu – dua hari. Aku sangat optimis, masyarakat kota tidak akan menjual suaranya. Perasaan mayoritas rakyat kota, sama dengan perasaanku yang akan merasa tersinggung, jika keberadaanku, eksistensiku sebagai manusia dan sebagai warga, hanya dihargai dengan selembaran uang dan sembako ketika menjelang Pilkada. Aku tidak akan terjebak pada rayuan sesaat, aku adalah manusia yang memiliki nilai. Mau menerima uang dari hasil bekerja, bukan menerima uang karena aku harus memilih si A atau si B.

Rakyat Kota Gorontalo bagiku adalah komunitas masyarakat yang cerdas yang tidak akan mudah goyah dan terpesona oleh indahnya kemasan yang dipampangkan oleh para calon pemimpin. Rakyat kota butuh isi, butuh substansi dan bukan seremoni.

Juga masyarakat kota adalah komunitas rasional yang justru akan mempertanyakan kredibilitas calon pemimpin yang royal, sok dermawan dan terkesan menghambur-hamburkan uang, apalagi memanjakan tim sukses dengan hura-hura. Karena itu, jika aku menjadi calon walikota, Tebar Uang dan Janji, No ! Tebar Gagasan, Yes….


Ya….aku ingin melawan dan menentang pemahaman dan persepsi sebagian kalangan bahwa suara rakyat bisa dibeli. Aku ingin berhipotesa bahwa suara rakyat tidak selamanya bisa dibeli dengan uang dan bagi-bagi sembako.

Itu memang melawan arus, tapi melawan arus tidak akan mati konyol, justru sebaliknya, melawan arus saat ini adalah sebuah keharusan ditengah kegersangan dan dekadensi “moral” yang terus mencuat.

Aku sadar, mayoritas warga kota memiliki nasib dan sepenanggungan yang sama denganku. Tidak ingin menerima uang dari pejabat dengan senyum kecut yang diberikan lima tahun sekali. Warga kota juga tidak satupun yang ingin menjadi pengemis, melainkan ingin berkarya dan bekerja, warga kota tidak ingin menjadi pecundang, tidak ingin hidup melarat, tidak ingin anak cucunya nanti mengalami nasib yang sama dengannya.

Juga aku sangat mengerti, rakyat kota seperti aku, pernah merasakan bagaimana susah dan prihatinnya ketika banjir datang dan melihat rumah-rumah saudara-saudaraku sesama warga yang digenangi air yang penuh lumpur, bagaimana gerahnya hidup di kota yang gersang, kurangnya pepohonan yang hijau nan rindang, bagaimana prihatinnya melintasi jalan-jalan yang disana sini penuh dengan kubangan. Belum lagi, bagaimana sulitnya mendapatkan kenderaan murah tapi nyaman, bukan kenderaan bentor yang selain mahal juga tidak teratur, hingga membuat suasana kota kian hari kian semrawut.

Aku juga mengerti perasaan anak-anak muda yang tidak ingin hidupnya hanya menjadi tukang bentor seumur hidup, mereka anak muda butuh kepastian dan masa depan yang cemerlang, memiliki impian bekerja di perusahaan-perusahaan bonafid dengan gaya dan style yang parlente.

Aku yakin seyakin-yakinnya, warga kota memiliki satu impian yakni menjadi warga yang mandiri. Mereka senantiasa membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pintar beretorika, pintar bermanuver, tapi rakyat menghendaki seorang pemimpin yang memiliki gebrakan nyata dan konkrit, bukan pemimpin yang hanya terjebak pada rutinitas, keluar masuk kampung, melempar senyum ramah seakan-akan sayang pada rakyatnya. Bukan pula pemimpin yang hanya mengajarkan warganya pintar mengaji, tapi juga harus lihai mencarikan dan memfasilitasi rakyatnya untuk bisa berusaha, memiliki lapangan pekerjaan dengan upah yang layak.

Jika aku maju sebagai calon walikota, aku tidak akan memanfaatkan moment waktu yang tersisa untuk mengadakan “nikah massal” “sunatan massal”, karena aku tidak mau wargaku yang lain tersenyum sinis dengan kata-kata yang meremehkan mereka. Jika memiliki kelebihan, aku akan datang ke rumah-rumah mereka diam-diam, memberikan bantuan tanpa wartawan, tanpa publikasi dan tanpa tedeng aling-aling, memberi dan menyayangi tanpa syarat.

Ku sadar, rakyat sudah jenuh dengan janji-janji ketika pemilu dan pilkada akan digelar, rakyat juga sudah muak dengan cara-cara yang tidak lazim untuk menjadi pemimpin.

Pemimpin itu terlahir dari tengah-tengah rakyat, bukan lahir karena rekayasa, bukan karena menjilat, bukan pula karena ia banyak harta, dermawan dan gelar berjubel.

Kepemimpinan itu tidak bisa dilihat dari inputnya, tetapi bagaimana proses suatu kehidupan berjalan hingga mengubah seseorang ditokohkan hingga menjadi seorang pemimpin yang kemudian dengan ketokohannya itu, memunculkan karakter kepemimpinan yang bisa menjadi sandaran bagi kehidupan rakyat, yang mampu mengulurkan solusi dari setiap persoalan di masyarakat. (AM)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes