Selasa, 08 Februari 2011

Peran PGRI dan Sejarah Perkembangannya



Organisasi PGRI yang selama ini berkiprah dan menjadi wadah bagi guru dalam memperjuangkan aspirasinya menurut Ketua PGRI Provinsi Gorontalo Nelson Pomalingo telah turut mewarnai dinamika pembangunan pendidikan dan SDM di negeri ini. Nelson menilai, berbagai kebijakan pemerintah terkait guru dan pendidikan tidak terlepas dari peran PGRI yang demikian besar memberikan sumbangsih pemikiran, ide dan konsep strategi membangun SDM yang handal di negeri ini. Tidka hanya itu saja menurut mantan Rektor UNG ini, dalam tataran impelementasi kebijakan dimana guru sebagai anggota PGRI juga menjadi garda terdepan dalam proses pendidikan. Oleh karena itu menurut Nelson yang juga Ketua Dewan Mesjid Provinsi Gorontalo ini, PGRI, Guru dan elemen pendidikan beserta tcita- cita luhur mewujudkan proses pencerdasan bangsa merupakan satu kesatuan yang harus terus dibangun, disinkronkan dan direlevansikan keberadaannya secara teratur dan tersistematis.


Selain itu kata Nelson PGRI sebagai organisasi yang lahir pada era tahun 1945 hanya berselang 3 bulan dari Proklamasi kemerdekaan RI telah menjadi modal dasar bagi bangsa ini dimana PGRI tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan cita-cita luhur Proklamasi kemerdekaan RI . "Semangat dan suasana batin perjuangan kemerdekaan Indonesia turut membidani lahirnya PGRI dan itu melekat kuat dalam organisasi PGRI"tandas Nelson.

Tujuan pendirian organisasi PGRI sesuai rumusan yang dihasilkan dalam Kongres I PGRI dari tanggal 24-25 November 1945. disepakati sebagai wahana persatuan dan kesatuan segenap guru di seluruh Indonesia, yakni, mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia, mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan, membela hak dan nasib buruh pada umumnya, guru pada khusus (Suara Guru, NOvember 1955; Pendiri PGRI ketika itu diantaranya Rh. Koesnan, Amin Singgih, Ali marsaban, Djajeng Soegianto, Soemidi Adisasmito, Abdullah Noerbambang, dan Soetono.

Empat Periode Perjalanan PGRI

PGRI saat ini merupakan organisasi profesi terbesar di Indonesia dengan anggotanya yang terdidik dan perannya yang demikian
strategis bagi bangsa. Namun menurut Nelson harus diakui bahwa PGRI dalam sejarah perjalanannya mengalami banyak perubahan dan dinamika organisasi yang dapat diidentifikasi mengalami empat periode perubahan, yakni Periode Pertama (1945-4955) merupakan tahap perkembangan awal, yang dapat disebut sebagai tahap formatif yaitu sejak kelahiran hingga menjadi benturan kepentingan politik didalamnya menjeleng pemilu 1955 yang hampir membuat organisasi itu hancur. lahir ditengah bau mesiu dan dentuman meriam takala tentara sekutu/NICA berusaha kembali menguasai Indonesia. PGRI merupakan bagian dari kekuatan bangsa yamh berusaha mempertahankan negara prokllamasi. Nasionalisme dan pratriotisme sangat kental mewarnai saat-saaat PGRI. selama revolusi fisik 1945-1949 memomentum itu terus dipertahnkan terbukti dari kterlibatkan PGRI sebagai organisasi dan para anggotnya dalam memperjuanglan bangsa. Memasuki tahun 1950-an PGRI sangat aktif memberikan kontribusinyaterhadap pembangunan dan pentaan sistem pendidikan yang carut murut. sebagai peninggalan maa sebelumnya zaman kolonial Belanda, masa kedudukan jepangdan zaman refolusi fisik. selama zaman peride ini PGRI sebagai organisasi sangat kompak, kuat dan para pengurusnya maupun anggotanya memiliki visi yang sama mengenai organisasi serta perjuanganya. Praksi antar pengurus dan sebagai kelompok kepentingan atau interestgroups) belum lama muncu periode ini kalaupun ada friksi masih sebatas persaingan inter organisasi yang dapat mudah diselesaikan secara interen pula. Para pengurus dan anggota disibukan oleh angenda-agenda pembangunan organisasi (misalnya Pembukaan Komisariat-komisariat Daerah) dan pemecahan masalah-masalah pendidikan yang mendesak. PGRI , misalnya sangat aktif mempelopori perumusan konsep pendidikan nasional, terlibat dalam gerakan pemberantasan buta huruf, dan upaya mengatasi kekurangan guru.

Periode Kedua (1955-1966) merupakan tahap yang kritis bagi PGRI sehingga dapat saya sebut sebagai "tahap Pancaroba) dalam perjalanan orgnisasi ini . selama periode ini mulai terjadi pembenturan kepentiingan dan intrik politik didalam tubuh PGRI. Intrik politik dimulai menjelang pemilu1955 ketika kelompok pro PKI berusaha menanamkan pengaruhnya dalam organisasi ini pada kongres VIII PGRI tahun 1956 di Bandung. Perebutan pengaruh mencapai puncaknya pada kongres X PGRI di jakarta yang disusul dengan lairnya PGRI Non- Vaksentral/PKI. HAmpir sejak krisis ini menghancurkan PGRI. tetapi berkat kegigihan pengurusnya, terutama ketua umumnya, M.E Subiadinata, Krisis itu dapat diatasi. terjadi peristiwa G30SPKI pada tahun 1965 yang ternyata gagal, turut mempercepat rontoknya kekuatan-kekuatan pro PKI dalam tubuh PGRI. Pada babak akhir periode ii ditandai pula oleh usaha untuk melakukan konsolidasiulang terhadap organisasi dalam suasana yang masih mncekamyaitu masa transisi dari era Orde Baru pada tahun 1966-1967

Periode Ketiga berlangsung lama (1967-1998), yaitu sejak lahirnya orde baru hingga berakhir era ini. Periode ini dapat sya sebut sebagai "tahap stabilitasi
dan pertumbuhan" setelah organisasi ini selamat dari ujian berat dan kemudian menemukan momentum pertumbuhannya yang baru ibarat sebuah second surve. Sebagai komponen orde baru , PGRImenikmati masa-masa perkembangan dan stabilitas dan kekohesifan pada interen organisasi. stabilitas ini secara simbolis direpresentasikan, antara lain, pada pengurusnya. Setelah melewati empat periode kepemimpinan dibawah M.E Subiadinata sebagai ketua umum PB-PGRI (1956-1969) yang diselingi oleh slamet I menyusut wafatnya M.E subiadinata tahun 1969 PB PGRI dipimpinoleh Basyuni Surimiharja selama enam periode (1970-1998)

Akan tetapi, seperti yang dikemukakan terdahulu,periode ini mencatat sisi lain dari perjalanan PGRI, yaitu hubungan mesra organisasi ini dengan pemerintah yang mempekerjakan para guru. Disamping memiliki aspek-aspek positif pendekatan hubungan ini juga pada giriliranya agak menyulitkan posisi PGRI sendiri dalam memperjuangkan nasib guru. Sangat jelas pula terlihat paa periode ini, sifat PGRI sebagai organisasi yang unitaristik, independent dan non partaipolitik agak terabaikan penegakannya, atau mungkin diartikulasikan secara berbeda dengan sifat organisasi ini pertama kali dirumuskan. bersama para pegawai negeri sipil lainnya (juga TNI,/ABRI), PGRI sebagai organisasi menjadi mesin birokrasi dan mesin politik (artinya partisan) raksasa yang sanagt efektif.

Pada periode ini sangat jelas terlihat adanya jarak yang lebar antara peran-peran yang dimainkan ditingkat atas dengan aspirasi dan harapan yang mengelora ditataran "akar rumput" (para anggota ditingkat bawah). Sebuah justifikasi dapat dikemukakan terhadap kecenderungan PGRI selama periode ini, yakni pada masa tersebut sulit bagi sebuah organisasi PGRI untukmenghindar dari berbagai tekanan politik yang begitu hebat dan sistematis pada era orde baru, tentu saja dengan segala dilemanya PGRI. Tekanan organisasi yang dikamsud telah memaksa hampir seluruh organisasi (apalagi dengan jumlah anggota yang raksasa seperti PGRI) bahkan juga termasuk partai politik , untuk tidak mampu mengambil " jalan sendiri " diluar koridor yang ditentukan oleh orde baru . bahkan dapat dikatakan bahwa justru dengan mekanisme adaptasi seperti itu, PGRI dapat tetap bertahan dan kuat selama ini. MOdel kepemimpinan yang sejuk dan kooperatif yang ditampilkan oleh Basyuni Suriamiharja tampaknya memang cocok untuk masa tersebut.

Periode keempat dimulai sejak bergulir era reformasi, yaitu sejak konggres XVII tahun 1998 dibandung . periode ini dapat disebut sebagai "tahap Perkembangan Lanjut" ketika PGRI memasuki babak baru dalam alam yang baru pula. Ia berusaha mengambil jarak secara lebih fair daroi pemerintah dengan tetap mempertahankan sikap kooperatif dan kesejukannya. PGRI juga berusaha kepada khittahnya, yaitu berpegang secara konsisten dan konsewen pada tiga sifat dasar : unitristik, independen, dan non partai politik. dalam konteks politik, pada era multipartai ini para anggota dibebaskan untuk menentukan pilihanya, karena sebagai organisasi, PGRI telah bertekad untuk tidak memasuki wilayah tersebut.

Dalam strategi perjuangan dan cara menyampaikan tuntutannya, PGRI menjadi lebih berani dan vokal, seperti terungkap dalam Guru menggugat pada tahun 2000. Pemikiran bahwa PGRI merupakan serikat pekerja (Trade Union) selain sebagai asosiasi profesi mengemuka secara lebih eksplisit dibandingkan pada masa -masa sebelumnya; begitu juga strategi perjuangannya mengikuti cara-cara lazim dalam serikat pekerja. Artinya, pada saat diperlakukan dan kondisi memaksa , tak ragu-ragu PGRI menyatakan pendirianya yang mungkin berseberangan dengan perspektif pemerintah, semata-mata demi membela kepentingan para anggotanya. Tentu saja, hal ini tidak tanpa resiko dan ada harga yang harus dibayar. Misalnya, hubungan PGRI menjadi lebih berjarak dengan pemerintah dan partai politik. Akses keberbagai posisi/jabatan dipemerintahpun tidak lagi terbuka seperti di masa lalu. (AM)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes