Oleh
Fitriyani Kamali, S.Pd, M.Pd, Kons
“Sesungguhnya di dalam diri manusia ada segumpal daging., jika daging itu baik maka baiklah dia, dan jika daging itu buruk maka buruklah dia…ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah HATI”…
Kalimat di atas bukan hanya sekedar kalimat puitis yang indah untuk dinikmati, tapi itu adalah bahasa agama yang termuat dalam Kitab Suci. Bahasa agama yang terlahir dari firman Allah dan hadits Nabi. Sungguh indah memang bahasa agama, bahasa yang cantik, indah, memuat makna yang luar biasa dahsyatnya untuk mengajak kita kembali ketitik “tawaddhu” semata karena Allah Yang Maha Rahim.
Hati tidaklah lepas dari emosi. Emosi seseorang sangat mempengaruhi pandangannya terhadap sesuatu atau terhadap situasi di sekililingnya. Bentuk pengaruh emosi yang paling ringan terhadap pandangan seseorang mengenai sesuatu atau situasi lingkungan ialah apa yang disebut priferensi. Hati atau “qalbu” adalah pusat kekuatan jiwa. Suasana hati sangatlah mudah berubah, sejalan dengan dinamika kehidupan yang dialami seseorang. Hati akan menentukan apakah seseorang menjadi mulia atau hina. Hati atau “qalbu” yang membimbing akal dan tubuh kita. Mengendalikan hati berarti selalu membersihkan hati, sehingga senantiasa memancarkan rasa syukur, rendah hati, kasih-sayang, optimis, jiwa yang altruistik, penuh dengan senyum yang ikhlas.
Emosi adalah semua jenis perasaan yang ada dalam diri seseorang dan memiliki peran yang besar dalam dinamika jiwa dan mengendalikan tingkah laku seseorang. Samsu Yusuf dalam Pengembangan Diri menuliskan: 1. Emosi dapat memperkuat semangat, apabila seseorang merasa puas dan senang atas hasil yang dicapai. 2. Emosi dapat melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa atau kegagalan. 3. Emosi dapat menghambat atau mengganggu konsentrasi, jika ada kegagalan, ketegangan perasaan, misalnya gugup, kecewa, dan ketakutan. 4. Emosi mengganggu penyesuaian social, misalnya iri hati dan cemburu. 5. Suasana emosional yang dialami pada masa kecil, akan mempengaruhi sikapnya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain.
Jeanne Seagel mencontohkan beberapa kasus tentang peranan kecerdasan emosi:
1. Ani, menggambarkan orang yang ber-EQ rendah akibatnya sulit bergaul dan kesepian.
2. Adam, IQ-nya tinggi tetapi EQ-nya rendah, ia hanya menjadi seorang pengangguran.
3. Gilang, seorang dokter gigi yang sering ditinggalkan pasien-pasiennya dikarenakan cerewet, sering mengumpat dan bicara kasar. EQ sang dokter sangatlah rendah.
Kecerdasan emosi yang baik akan terlihat ketika dia berkata dan bersikap. Sikap yang memikat dengan kesantunan, kerendahan hati, senyuman tulus, mau berempati, dan santun dalam berkata dan bersosialisasi akan tampak secara kasat mata. Emosi tidaklah lepas bagaimana kita mampu melakukan pengendalian diri. Perjalanan hidup yang dinamis, kadang berliku, menurun, mendaki, susah, senang, sedih, hal demikian tentu menuntut kita untuk harus bisa menguasai sejumlah kompetensi hidup, antara lain pengendalian diri.
Daniel Goleman mengisahkan dalam bukunya, anak-anak usia 4 tahun di TK Standford diuji ketika memasuki sebuah ruangan. Di atas meja disediakan kue. Anak boleh mengambilnya dan langsung memakannya. Tetapi bagi yang mau “berpuasa” menahan diri dalam waktu tertentu maka dia akan mendapat hadiah tambahan satu kue. Empat belas tahun kemudian, setelah anak-anak lulus SMA didapati sebagai berikut: anak-anak sewaktu TK langsung makan kue, atau tidak menahan diri cenderung tidak tahan menghadapi stress, mudah tersinggung, gampang terpancing dan terprovokasi, dan kurang tahan uji dalam mengejar cita-cita. Tiga puluh tahun kemudian, terbukti bahwa anak sewaktuTK tidak bisa menahan diri, setelah dewasa terlihat kecakapan kognitif dan emosinya rendah. Sering kesepian, kurang dapat diandalkan, mudah hilang konsentrasi, tidak sabar bila menghadapi stress hampir tidak terkendali. Tidak fleksibel menghadapi tekanan, dan mudah meledak-ledak.
Pengendalian Pikiran
Dimensi pikir akan membuahkan hasil/penentu sikap dan perilaku seseorang. Seseorang yang memiliki persepsi/pikiran benar = positif akan membentuk suatu proses = aktivitas yang benar dan tentu hasil akhirnya juga benar. Pengendalian pikiran dapat dilakukan dengan mengawasi apa isi terbanyak dalam pikiran kita. Subjek apakah yang mendominasi pikiran kita.? Jika pikiran hanya sibuk dengan diri sendiri maka ini adalah salah satu indikator egoisme. Pikiran yang penuh dengan urusan uang, harta, jabatan, dan keduniaan lainnya, ini juga salah satu indikator dari materialistis. Cara lain untuk mengendalikan pikiran adalah dengan berfikir holistic, Ary Ginanjar menyebutkan berpikir melingkar yakni dengan mempertimbangkan semua dimensi.
Banyak hal yang memang perlu kita kaji, kita ketahui dan kita renungkan dalam perjalanan hidup ini. Hal di atas hanyalah sebagian titik kecil dari pusat makna kehidupan yang begitu banyak dan maha luasnya. Banyak hal yang kita ketahui, kita miliki, tapi terkadang kita justeru menyalah artikannya, bahkan menyalahgunakannya. Yang lebih memilukan lagi seharusnya kita lebih membangun dan membentuk “pendidikan karakter” yang berlapis di semua dimensi kehidupan, namun ternyata justeru yang ditemukan adalah “pembunuhan karakter” yang sadis tanpa belas kasih bertebaran di mana-mana. “Haruskah dan haruskah…?”
Marilah kita bertanya pada hati nurani, karena disanalah jawaban kebenaran bertengger begitu kokohnya. Bukan malah bertanya pada rumput yang bergoyang. Yang takkan pernah memberikan jawaban apapun atas realita yang ada dan nyata.
Aku akhiri tulisanku kali ini dengan satu pegharapan, renungkan kalimat ini bahwa “pendidik bukan hanya sebagai agen pembelajaran tapi juga sebagai agen perdamaian”.
Aku bertanya pada rembulan…di manakah cinta.?
Aku bertanya pada bintang…di manakah sayang.?
Akupun bertanya pada matahari…di manakah kehidupan.?
Cahaya ketiganya menyusup dalam nuraniku…
Seraya membisikkan kata yang takkan pernah terhapus dalam goresan…
Cintamu ada di hatimu…
Sayangmu ada di hatimu…
Kehidupanmu adalah kehidupan hatimu…
Maka tanyakanlah semuanya dengan bahasa hati yang cantik nan indah…
Berjuta kali kau bertanya…
Sungguh hatimu takkan pernah letih untuk menjawabnya…
…SALAM KONSELING INDONESIA…!