Selasa, 08 Februari 2011

Ringkasan Disertasi Sekdaprov DR. Idris Rahim, MM

Meraih Gelar Doktor (S3) Di Uiniversitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Jokyakarta


Abstrak.
Runtuhnya Orde Baru dan mengemukanya wacana desentralisasi adalah proses penting dalam pemekaran wilayah di Indonesia. Namun untuk konteks Gorontalo, pemekaran wilayah bukan saja berada pada domain administrative, tetapi juga pada domain sosio-kultural. Penelitian ini akan mencoba menjawab pertanyaan penelitian mengenai konstruksi identitas dalam pembentukan Provinsi Gorontalo. Penelitian ini bertujuan, pertama, Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi konstruksi sosial identitas etno religi dalam melakukan pemekaran Provinsi Sulawesi Utara untuk membentuk Provnsi Gorontalo; kedua, Memetakan dinamika politik lokal Gorontalo melalui wacana politik yang berkembang saat itu ; ketiga, Melakukan kajian kritis terhadap pemekaran wilayah yang selama ini terjadi di Gorontalo, baik pada aspek konsepsional maupun aspek operasional yang ditinjau dari aspek sosio-kultural dan agama. Pendekatan yang dipakai untuk memahami proses pembentukan Provinsi Gorontalo menjadi sebuah daerah otonom adalah pendekatan historical sociology. Pendekatan ini berupaya untuk memahami proses sejarah Gorontalo yang saling terkait antara tiap masanya. Hal ini menjadi penting untuk menelaah proses terbentuknya Provinsi Gorontalo, yang pada perjalanannya, Gorontalo juga mengalami perubahan secara mendasar baik pada tingkat struktural maupun kultural. (Data diperoleh melalui Indepth Interview).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, pembentukan Provinsi Gorontalop tidak sekedar hasil proses politik administratif pasca orde baru, tetapi merupakan konstruksi identitas etno religi yang berlangsung sejak pra kolonial hingga akhir orde baru. Penguatan fragmentasi identitas etnis antara Gorontalo dan Minahasa pada tiap periode semakin mengental. Begitu juga dengan perbedaan identitas religius, yakni Islam dan Kristen. Baik di era Kolonial, Orde Lama hingga Orde Baru. Kedua, pembentukan Provinsi Gorontalo menjadi semakin pasti ketika orde baru tumbang dan kran desentralisasi terbuka. Ketiga, pembentukan Provinsi Gorontalo juga dilandasi oleh gerakan sosial yang memanfaatkan kesempatan politik, yakni terbukanya ruang administratif untuk memekarkan diri.keempat, pemekaran daerah di Indonesia semestinya dilandasi pada analisis yang komprehensif, bukan saja karena mobilisasi politis dan identitas tetapi karena kebutuhan akan pemerataan pembangunan.


Identitas Etno Religi
Dalam Pembentukan Provinsi Gorontalo
A. Latar Belakang Masalah


Runtuhnya Rezim Orde Baru adalah bagian dari krisis legitimasi yang diidap Orde Baru dan merupakan titik puncak dinamika dalam pembangunan ekonomi dan rezim politik dan hubungan dialektika yang dipenuhi kontradiksi-kontradiksi dalam kapitalisme Orde Baru. Pada sisi lain, UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah menjadi sebuah tonggak menghadapi kemacetan-kemacetan politik sebelumnya yang dinilai gagal dan ditandai lahirnya Orde Reformasi mencanangkan satu perubahan besar dalam mekanisme dan dinamika politik Indonesia.

Momentum Reformasi membawa serta gerbong desentralisasi yang mengarah ke otonomi daerah. Sebagai proses politik, otonomi daerah tidak mungkin delpaskan diri dari tarik menraik kepentingan antar pihak yang mengkompromikan keinginan desentralisasi luas dengan sebagian sentralisasi. Proses politik yang berkembang pasca UU No. 32 Tahun 2004, menarik ulang sebagian kewenangan kembali.

Lahirnya Provinsi Gorontalo merupakan sebuah perlawan dari memori-memori keterkungkungan yang terjadi selama ini dan ruang administratif serta politik yang terbuka lebar dipergunakan seluas-luasnya untuk membuka katup yang selama ini diikat oleh sebuah identitas semu.

Kelahiran Provinsi Gorontalo juga sebagai kebangkitan dari ethnonasionalism. Kebanggaan diri akan etnisitas (Gorontalo) menjadikan perjuangan semakin agresif. Agresifitas terhadap kebangkitan ethnonasionalism berakar dari faktor cinta diri ((narsisme), sehingga akan melahirkan konsep self and the other (diri dan yang lain). Pada tingkat yang lebih teknis-operasional, perbedaan-perbedaan lah yang direproduksi dan dijadikan energi untuk penguatan diri (perjuangan) agar semakin agresif (Habwachs, 1998).

Provinsi Gorontalo, sebagai bagian momentum dari lahirnya ”teritorialisasi identitas” yang sangat mengagungkan-agungkan identitas yang dijadikan memori kolektif dan pembebasan dari sebuah tirani (Santoso, dalam Nugroho, 2007). Memori kolektif Provinsi Gorontalo ditandai dengan tiga proses konstruksi sosial, 1) Uduluwo Limo LO Pohalaa. 2) Peristiwa 23 Januari 1942 dan 3) Pembentukan Gorontalo itu sendiri (Amin, 2008)

Ide Pembentukan Provinsi Gorontalo ini lahir dari pertemuan kader-kader Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo (HPMIG) se Indoensia pada bulan Februari 1999 dengan melaksanakan Musyawarah Besar (MUBES) HPMIG V di Gorontalo. Selain euforia tumbangnya rezim Soeharto, semangat desentralisasi dengan strip kebebasan sepenuhnya pada ranah lokal ini merasuk ke Gorontalo yang dulunya ”merasa” menjadi anak tiri Sulawesi Utara, yang kemudian mencoba memisahkan diri menjadi sebuah Provinsi. Hasil MUBES V merekomendasikan agar segera membuat tim persiapan pendukung pembentukan Provinsi Gorontalo.

Fokus penelitian dititikberatkan pada proses sosail-politik yang melingkupi pembentukan Provinsi Gorontalo yang dulunya bergabung dengan Sulawesi Utara. Keterlambatan dan kesenjangan dalam pembangunan dibidang sosial ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan juga menjadi bahasan dalam disertasi tentang pembentukan provinsi yang dideklarasikan pada 23 Januari 2000.

B. Permasalahan
Permasalahan-permasalahan penelitian disertasi ini adalah sebagai berikut : Pertama, bagaimana konstruksi sosial penguatan identitas masyarakat Gorontalo yang menjadi faktor utama dalam pembentukan Provinsi Gorontalo. Kedua, bagaimana pula lembaga-lembaga masyarakat yang dibentuk untuk mendirikan Provinsi Gorontalo, guna menciptakan peluang politik (political opportunities) sebagai upaya mengatasi tantangan penyempitan (constraints) politik. Ketiga, bagaimana proses pembingkaian tindakan perlawanan (framing process) dari masyarakat Gorontalo yang digerakkan (mobilizing structures) oleh lembaga-lembaga masyarakat demi terciptanya perlawanan politik. BERSAMBUNG (Edisi Depan : Kerangka Teori, Teori Politik Identitas dan Konsepsi Etno Religi).


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes